top of page
Search

Dekolonialisasi Desain: Strategi Baru untuk Pembangunan Berkelanjutan di Nusa Tenggara Timur

Bulan januari sampai awal April 2024, saya melakukan penelitian lapangan di sepuluh kampung adat marapu di Sumba Timur. Selama masa penelitian, saya banyak mendengar cerita dari komunitas Marapu tentang bagaimana pemerintah mengambil alih tanah mereka untuk tujuan-tujuan pembangunan seperti pabrik dan tempat wisata. Tentu, pembangunan itu sendiri adalah baik. Tetapi tidak semua proses pembangunan berjalan secara dialogis. 

Beberapa tanah yang sudah dan akan dipakai sebagai proyek pembangunan berkelanjutan, menurut orang-orang lokal, telah diambil negara melalui cara-cara yang tidak patut. Salah satu contoh yang cukup heboh adalah konflik antara komunitas Marapu dengan mantan Gubernur Viktor Laiskodat di daerah Kabaru, Sumba Timur, tahun 2021. Berbagai surat kabar lokal NTT banyak mencatat bagaimana konflik itu terjadi. 


Seperti yang terjadi di kabaru dan tempat-tempat lain, pemerintah kerap menggunakan pendekatan kekerasan untuk melancarkan kepentingan pembangunan. Saya sendiri pernah melihat langsung bagaimana pemerintah merampas tanah komunitas adat Pubabu-Besipae di Timor Tengah Selatan. Pemerintah tidak segan-segan menggunakan berbagai kekerasan guna mengusir orang-orang Besipae dari tanah mereka sendiri. 


Karena begitu hebat kekerasan yang dialami, komunitas adat pun tidak selalu diam. Saya meyakini banyak orang sudah mendengar cerita perjuangan Mama Aleta dalam melawan tambang di tanah Molo. Menggunakan resistensi kultural, Mama Aletha dan warga Molo melawan dan mengusir tambang dari tanah mereka. Di Sumba, komunitas Marapu melawan dengan pendekatan dialog. Tokoh yang memimpin gerakan tersebut adalah Umbu Maramba Hawu. Ia adalah pemimpin komunitas Marapu yang berdiri melawan Viktor Laiskodat kala sang mantan gubernur hendak mengata-ngatai komunitas Marapu dengan kata yang sangat kasar yaitu ‘monyet.’


Saya berkeyakinan bahwa pengalaman komunitas Marapu, Molo, dan Besipae menunjukkan bahwa ide-ide pembangunan yang melibatkan tanah adat cenderung bermuara pada konflik. Tiga komunitas tadi adalah representasi dari berbagai komunitas lain yang mengalami pengalaman serupa seperti masyarakat adat komodo di pulau Komodo. Saya kira, siapa pun yang pernah menonton dokumenter ‘Dragon (not) For Sale’ menyaksikan bagaimana pemerintah mengeksploitasi tanah adat untuk kepentingan ekonomi belaka.


Berangkat dari dinamika pembangunan di NTT yang kerap berakhir pada konflik dengan masyarakat adat. Saya mengusulkan pendekatan baru bernama ‘dekolonialisasi desain’ yang ditawarkan oleh Arturo Escobar, seorang peneliti asal Kolombia, dalam bukunya Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds  (2018). Tawaran yang saya kembangkan meniti beratkan pada pola pembangunan yang lebih dialogis sekaligus melibatkan pendekatan ekologi dan politik untuk meretas paradigma ekonomi dan kekerasan yang bekerja dibalik dinamika pembangunan saat ini.


Ekologi Politik, Masyarakat Adat, dan Studi Pembangunan


Dalam bukunya, Escobar mengajukan pertanyaan dasar mengapa studi pembangunan selalu berujung pada penghancuran alam? Escobar kemudian berkesimpulan bahwa studi pembangunan sejak abad 20 sampai awal 21 selalu berpusat pada ide-ide pembangunan modern yang cenderung menempatkan alam dan sebagai objek atau benda mati. Escobar mengategorikannya sebagai pembangunan konvensional (conventional development studies).


Pembangunan konvensional adalah studi pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi. Suara Alam dan komunitas lokal tidak diperhitungkan. Dampaknya, seperti yang banyak terjadi di NTT dan Kolombia, pemerintah mengorbankan kehidupan komunitas dan lingkungan hidup. Menurut Escobar, pembangunan konvensional adalah dosa besar dari kolonialisme barat dan modernitas. Oleh karena itu, ia mengusulkan gagasan dekolonialisasi desain sebagai alternatif atas pembangunan konvensional.


Dekolonialisasi desain berpijak pada tiga studi yakni antropologi, ekologi politik, dan studi pembangunan sebagai kombinasi untuk menghasilkan kerja pembangunan yang menjunjung tinggi keadilan manusia dan alam. Secara ringkas, dekolonialisasi desain mengusung studi dan kerja pembangunan yang didasarkan pada pendekatan dialog bersama komunitas dan keberlangsungan hidup sebagai ide dasar pembangunan. Escobar, dalam bukunya, mengusulkan pembangunan yang berpijak pada pengetahuan indigenous karena komunitas indigenos kerap memiliki pengetahuan yang sangat ekologis. Oleh karena itu, ide pembangunan dapat mempertimbangkan secara ketat kemajuan ekonomi dan keberlangsungan bumi agar keduanya berjalan beriringan.


Belajar dari ide dekolonialisasi desain, menurut saya, gagasan Escobar dapat menjadi cara berpikir baru atas strategi pembangunan di NTT yang sampai saat ini masih berpijak pada pembangunan konvensional. Sebagai dampaknya, pemerintah terlalu banyak mengorbankan tanah dan alam milik masyarakat adat. Dalam pengamatan saya, harga atas pembangunan saat ini terlalu mahal. Bila pembangunan semacam ini terus dilanjutkan, strategi pembangunan akan membawa kita pada kemiskinan baru karena tanah dan alam kita diubah menjadi sekedar besi dan beton yang tidak terlalu banyak gunanya.


Lebih lanjut, dekolonialisasi desain dapat membawa NTT keluar dari kelompok 3T sekaligus mempertahankan keberlangsungan lingkungan hidup. Gagasan tersebut memberi peluang bagi terjadinya dialog dan gerakan ekologis berbasis pengetahuan masyarakat adat. Pemerintah kemudian dapat mencari keuntungan ekonomi dengan tidak lagi mengorbankan tanah dan komunitas masyarakat adat. Dekolonialisas desain adalah pendekatan yang sangat relevan abgi NTT. Oleh karena itu, saya meyakini, tawaran dekolonialisasi desain dapat menjadi peluang bagi kita untuk mengeluarkan NTT dari kelompok 3T melalui cara yang lebih dialogis sekaligus ekologis.


 
 
 

1 commentaire


Fufuk Fufuk
Fufuk Fufuk
19 nov. 2024

Menarik

J'aime
bottom of page